Article Detail

Literasi di SMA Tarakanita Citra Raya

Literasi SMA Tarakanita Citra Raya dinamakan dengan Susire yang mana dijadwalkan  rutin di setiap hari Selasa dan Jumat yang mana bisa melatih kedisiplinan peserta didik serta Bapak Ibu guru karyawan SMA Tarakanita Citra Raya untuk menimba pengetahuan lewat jendela membaca dari buku-buku saat susire atau literasi. Salah satu kunci dalam memperoleh pengetahuan adalah dengan membaca, karena dengannya pemahaman dan wawasan kita akan bertambah, kemampuan dan pola berfikir lebih mendalam dan terarah, serta bisa memahami situasi dengan bijak. Selain itu, dengan membaca akan membuat kemampuan menulis dan berbicara kita semakin terasah. Bagi guru, kita akan mampu memberi penjelasan yang luas dan mendalam kepada anak didik sehingga tidak bosan dengan penjelasan yang monoton dan sudah sering didengar.Apalagi permasalahan yang dialami guru ketika berhadapan dengan anak didik, orangtua, sesama guru, yayasan, maupun dengan lembaga pemerintahan sangat kompleks. Oleh karenanya guru butuh pemikiran yang jernih dan bisa menganalisa serta memecahkan permasalahan yang ada. Lewat membaca buku akan memudahkan guru untuk berfikir bijak dan jernih serta bisa menentukan langkah yang akan diambil. Kita bisa belajar dari pengalaman para guru yang sudah banyak ditulis dalam buku maupun artikel, tentunya dengan membaca kisah terkait.

Data UNESCO tahun 2011 menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat minim. Dari seribu orang penduduk, nyatanya hanya satu yang punya minat baca tinggi. Ini tentu sangat memprihatinkan. Apalagi dengan kemajuan teknologi yang berkembang pesat membuat keinginan membaca buku belum membaik. Amati saja di sekitar kita, apa yang lebih menarik bagi mereka: buku-buku berbobot atau gadget? Kebanyakan akan lebih senang update status yang justru sering tidak penting di media sosial daripada menikmati buku. Padahal dengan membaca buku kita akan tahu banyak hal karena salah satu sifat buku adalah selalu up to date. Meski usianya sudah puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun tapi masih relevan untuk dijadikan bacaan hari ini.

Dari buku-buku yang telah dibaca, kita akan mendapat banyak informasi yang masuk ke dalam otak lalu melahirkan keinginan untuk mengungkapkan. Bentuk ungkapan ada dua yaitu secara lisan dan tulisan. Ungkapan yang keluar pun akan berbeda antara yang banyak membaca dengan yang kurang bahan bacaan. Anak didik yang terbiasa melahap buku-buku bemutu akan lebih mampu mengutarakan banyak hal, mendetail, dan runtut kepada orang lain. Sementara mereka yang kurang bahan bacaan, wawasannya sempit dan tidak bisa mengurai banyak hal kepada orang lain. Struktur kalimat yang dipakai pun tidak seruntut mereka yang terbiasa bergelut dengan bahan bacaan.

Maka, tugas guru bukanlah sekadar memenuhi pengetahuan anak didik dengan ceramah. Anak didik yang hanya diceramahi akan bosan dan cenderung pasif mencari informasi baru lewat membaca. Anak didik perlu dipancing agar minat bacanya tumbuh. Ada banyak hal yang bisa dilakukan guru, diantaranya adalah:

Pertama, memberi tugas yang menuntut mereka membaca. Misalnya ketika menugaskan untuk menjelaskan sejarah kemerdekaan Indonesia. Jangan sampai siswa hanya diminta menyebutkan apa saja pertempuran yang terjadi, siapa pemimpin pertempuran itu, kapan, dan dimana kejadiannya. Pertanyaan itu hanya akan membuat anak didik menghafal tanggal dan pemimpin yang menghiasi sejarah. Akan lebih menantang dan meningkatkan pemahaman ketika kita minta mereka menjelaskan lebih luas dengan uraian yang lengkap.

Peserta didik bisa ditugasi mencari tahu mengapa pertempuran itu terjadi. Apa yang menyebabkan kekalahan dan kemenangan baik di pihak Indonesia maupun para penjajah, serta tidak lupa kita beri tahu mereka buku-buku penunjang yang bisa dijadikan referensi. Kalau perlu, kita pun bisa minta anak didik untuk memberi komentar terhadap peristiwa terkait. Jika tugas itu berupa laporan tertulis, sarankan mereka untuk menulis tangan disertai daftar buku referensi yang telah dibaca. Kelihatannya sepele, tapi dengan menulis tangan ada dua tahap belajar yang dilalui anak didik yaitu membaca dan menulis. Berbeda jika diketik, mereka bisa saja copy paste dari internet atau materi yang telah ada tanpa membacanya terlebih dahulu. Bukankah masih sering kita dapati anak didik yang tidak mengedit materi yang diambil dari internet?

Kedua, menumbuhkan dalam diri anak kecintaan kepada perpustakaan. Guru harus memutar otak agar buku di perpustakaan dapat terlihat lebih menarik bagi mereka dibanding makanan enak yang disajikan di restoran mahal, tempat main yang seru, atau pakaian yang selalu berganti mode. Sekolah mempunyai tanggung jawab untuk menumbuhkan minat membaca. Sekolah bisa mendesain perpustakaan yang menarik minat baca anak didik. Sudah saatnya perpustakaan sekolah tidak hanya berisi buku-buku paket dan pelajaran, tapi juga menyediakan buku-buku pengetahuan umum yang mampu menarik anak didik untuk betah berlama-lama di dalamnya.

Kita bisa menyediakan meja, kursi dan atau tempat lesehan yang nyaman untuk membaca. Bisa juga dengan mendekatkan perpustakaan dengan taman sehingga anak bisa membacanya di bawah pohon yang rindang sambil menikmati udara yang berhembus pelan. Selain itu, kita bisa mengusahakan adanya perpustakaan mini di setiap kelas agar anak didik mudah mengakses buku-buku yang dibutuhkan, di luar perpustakaan besar sebagai perpustakaan utama. Jika selama ini studi banding identik ke tempat rekreasi, sesekali kita perlu mengajak anak didik studi banding ke perpustakaan. Kita bisa mencari data perpustakaan mana yang menjadi percontohan. Diantara perpustakaan sekolah yang bisa dijadikan contoh adalah perpustakaan SDN IV Bubutan Surabaya yang sudah dikenal memiliki perpustakaan yang baik, bahkan sudah sering menjadi tempat study banding banyak sekolah dari luar Pulau Jawa.

Ketiga, mengadakan lomba kepenulisan. Bentuknya bisa membuat mading, bercerita, atau mengarang. Ini dilakukan sebagai upaya lain yang bisa menguatkan keinginan anak didik pada budaya literasi. Kita bisa memberikan kebebasan kepada mereka untuk memilih tema. Sesuai fitrah, manusia itu suka dengan cerita, apa lagi anak-anak. Ketika anak-anak diberi kebebasan untuk bercerita atau mengarang, imajinasi dan kekuatan kata-kata mereka akan berkembang. Tidak perlu dibatasi berapa halaman yang akan ditulis karena itu sama dengan membatasi imajinasi mereka. Biarkan saja mereka menuangkan ide-ide cemerlangnya dalam lembar putih. Pun dengan mading. Untuk membuat mading yang bagus mau tidak mau mereka harus membaca sebagai bahan referensi.

Keempat, contoh langsung dari guru. Sebanyak apapun usaha kita untuk memantik minat baca anak didik tidak akan efektif ketika guru tidak memberi contoh langsung. Mereka akan lebih mudah melakukan sesuatu karena apa yang dilihat daripada apa yang didengar. Ketika membaca guru bisa memilih tempat yang bisa dilihat banyak anak didik. Tujuannya tentu bukan untuk pamer tapi semata memberi pesan kepada mereka bahwa membaca itu penting.

Semoga peran aktif sekolah dalam menumbuhkembangkan minat baca anak didik akan melahirkan generasi yang cerdas sehingga indek perkembangan manusia Indonesia bisa bersaing dengan negara lain. 

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment